Sabtu, 25 November 2017

Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin dan Tahlil untuk orang yang telah wafat

Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin dan Tahlil  untuk orang yang telah wafat

         
Golongan pengingkar berkata: Kata-kata ingata’a amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit !
Pikiran seperti itu adalah tidak tepat, karena sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit telah selesai dan putus amalnya, karena ia tidak di wajibkan lagi untuk beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Begitu juga tidak ada keterangan dalam hadits tersebut bahwa si mayit tidak dapat menerima syafa’at, hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang sholeh.



– Dalam syarah Thahawiyah halaman 456 disebutkan: bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.
           
Banyak hadits Nabi saw. yang menyebutkan bahwa amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah do’a kaum muslimin  (jadi bukan hanya doa dari anaknya saja) untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya (baca keterangan sebelumnya), yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan hutang setelah wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca haditsnya dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama muslimin ,baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, sebagaimana yang tercantum pada ayat Ilahi Al-Hasyr.10 .   
Mengapa dalam hadits diatas dicontohkan do’a anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang tuanya, dimana orang-orang lain telah melupakan ayah- nya. Sedangkan anak yang tidak pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh.  
Dari anak sholeh ini si mayit sudah pasti dan selalu (kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud makna dari hadits ini. Dengan demikian hadits ini tidak akan berlawanan/berbenturan maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan sampainya pahala amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji, sholat dan lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai amal jariahnya dan ilmu yang bermanfaat, selama dua hal ini masih diamalkan oleh manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima juga syafa’at darinya.

Kalau kita tetap memakai penafsiran golongan pengingkar yang hanya membatasi do'a dari anak sholeh yang bisa sampai kepada mayit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak? Apakah orang yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafa'at/manfaat do'a dari amalan orang yang masih hidup? Bagaimana do’a kaum muslimin pada waktu sholat jenazah, apakah tidak akan sampai kepada si mayyit? Sekali lagi penafsiran dan pembatasan hanya do'a anak sholeh yang bermanfa’at bagi si mayit adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit.

– Dalam Al-Majmu’ jilid 15/522  Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa ‘sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak ’.  
Hal yang serupa ini juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 3/218: Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya maupun dari yang selainnya’

– Juga hadits-hadits Nabi saw. mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik ra:
                                                                                                             
عَنْ أنَسِ (ر) عَنْ عَلِىّ (كَرَّمَهُ اللهُ وَجْهَه) اَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ اَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِى.صَ.
 وَالآخَرُ عَنْ نََفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي ِبهِ يَعْنِى النَّبِى صَ فَلآ اَدَعُهُ اَبَدًا.                         
                                                                                                               
Artinya: “Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban dengan dua ekor kambing kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad saw.dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali kw.) dan beliau menjawab : ‘Nabi saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya‘ ”.  (HR Turmudzi dalam shohihnya jilid VI halaman 219).

Dalam hadits ini Rasulallah saw telah memerintahkan sayidina Ali kw, untuk berkorban yang pahalanya buat dirinya dan buat Rasulallah saw. Sayidina Ali kw tidak akan meninggalkan amalan ini selamanya.

– Aisyah ra mengatakan bahwasanya Rasulallah saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau saw. berdo’a :

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ         
       
Artinya: “Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini) dari Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi menyembelihnya”.  (HR. Muslim dalam shahih muslim jilid XIII halaman 122).

Jelas dalam hadits ini Nabi saw berkorban yang pahalanya untuk beliau saw, keluarganya dan seluruh umat muslim. Kalau hal ini tidak bermanfaat dan dilarang dalam agama maka  tidak mungkin diamalkan oleh Rasulallah saw.

Dalam kitab Bariqatul Muhammadiyah jilid II,halaman 99 cet.Mustafa Babil Halabi, pengarangnya memberi komentar tentang hadits ini sebagai berikut: ‘Nabi Muhammad  memberikan pahalanya kepada umat beliau. Ini berarti pelajaran dari Nabi bahwa amalan orang lain bisa memberi manfaat kepada orang lain.Mengikut ajaran dan petunjuk Nabi ini adalah berpegang dengan tali yang teguh’.

– Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Jabir ra yang menerangkan bahwa ia pernah shalat 'Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah selesai shalat beliau diberikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya mengucapkan: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
           
Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah pahala korban dari Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw., begitu juga pahala korban dari Nabi saw. untuk diri beliau saw., para keluarganya dan bahkan untuk segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah pahala amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum sempat berqurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri didunia ini.  

– Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 mengomentari hadits diatas ini dengan katanya: Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya, serta menyatukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur’. 

– Juga sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugurkan tanggungan mayyit walaupun pembayaran tersebut dilakukan oleh orang yang lain yang bukan dari keluarga mayyit. Hal yang demikian ini ditunjukkan oleh Abi Qatadah dimana beliau menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu Nabi saw. bersabda: ‘Sekarang bisalah dingin kulitnya’. (HR. Imam Ahmad).

– Hadits ,yang diriwayatkan imam Turmudzi dalam shahihnya jilid IV halaman 297, dari Abu Hurairah, beliau berkata: Bersabda Rasulallah saw diri seseorang tergantung kepada hutangnya, sampai hutangnya dibayarkan..Hadits ini jelas bahwa seorang yang telah wafat dan mempunyai hutang maka ia belum bebas kalau hutangnya itu belum dibayar oleh ahli warisnya atau karib kerabatnya.  Dengan demikian jelas  amalan orang yang hidup bisa bermanfaat bagi si mayit. 
      
Walaupun cukup banyak hadits yang membolehkan amalan orang yang hidup (hadiah pahala dan lain-lain) yang berguna untuk si mayit tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu, tapi ada golongan yang berbeda pendapat mengenai hukumnya penghadiahan pahala ini. Ada golongan yang membedakan antara ibadah badaniyah (jasmani) dan ibadah maliyah (harta).  
Sebagian dari mereka berkata; pahala ibadah maliyah seperti sedekah dan haji sampai kepada mayit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur'an tidak sampai. Mereka ini juga berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulallah saw.: Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum (puasa) untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum?’ (HR An-Nasa'i).
           
Sebenarnya yang dimaksud hadits terakhir ini ialah: Misalnya si A malas untuk sholat Ashar maka si A minta pada Si B untuk menggantikannya, inilah yang dilarang oleh agama. Karena orang yang masih hidup harus menunaikan sholat sendiri-sendiri tidak boleh diwakilkan pada orang lain.
Begitu juga bila orang yang masih hidup tidak mampu puasa lagi karena alasan-alasan tertentu yang dibolehkan agama umpama sudah tua sekali atau mempunyai penyakit chronis dan lain sebagainya tidak boleh digantikan oleh orang lain, tetapi yang bersangkutan setiap harinya harus mengeluarkan sedekah (fidyah) untuk memberi makan orang miskin satu mud ( ± 800 gram).  
Dengan demikian hadits terakhir diatas ini tidak tepat sekali untuk digunakan sebagai dalil melarang amalan ibadah badaniyah yang pahala amalannya dihadiahkan kepada orang yang telah wafat. Karena cukup banyak hadits Rasulallah saw. ,baik secara langsung maupun tidak langsung, yang membolehkan penghadiahan pahala amalan untuk orang yang telah wafat baik yang berupa ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah.(baca haditsnya pada halaman berikut)

Sedangkan golongan ulama yang berpendapat bahwa penghadiahan pahala ,baik itu ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah, akan sampai kepada simayyit umpama pembacaan Al-Qur’an, puasa, haji, pelunasan hutang setelah wafat, sedekah dan lain-lainnya, dengan mengqiyaskan hal ini pada hadits-hadits Nabi saw mengenai sampai nya pahala ibadah puasa, haji, sholat, pelunasan hutang setelah wafat, do’a kaum muslimin untuk muslimin yang telah wafat dan sebagainya.
Golongan ini berkata: "Pahala adalah hak orang yang beramal, jika ia menghadiahkan kepada sesama muslim maka hal itu mustahab/ baik, sebagaimana tidak adanya larangan menghadiahkan harta untuk orang lain diwaktu hidupnya atau membebaskan hutang setelah wafatnya".   
         
Begitupun juga tidak ada dalil jelas yang mengatakan pembacaan Al-Qur’an tidak akan sampai pada si mayit. Jadi dengan banyaknya  hadits dari  Nabi saw. mengenai sampainya pahala amalan atau manfaat do’a  untuk si mayit bisa dipakai sebagai dalil sampainya juga pahala pembacaan Al-Qur’an pada si mayit. Sayang sekali kalau hal ini kita remehkan dan tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia Ilahi tidak ada batasnya.

2. Golongan pengingkar menyebutkan beberapa dalil lagi untuk menolak hadiah pahala untuk si mayit diantaranya, firman Allah dalam surat an-Najm ayat 39: ‘Tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan’.  Mereka mengatakan ayat ini jelas bahwa manusia tidak akan mendapat pahala dari amal orang lain bagaimana jugapun. Orang yang berfatwa boleh menghadiahkan pahala dan pahala itu sampai kepada mayat termasuk orang yang bodoh tdiak mengerti agama.

Ayat tersebut dijadikan oleh mereka sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala untuk si mayit, ini juga tidak tepat sekali. Ayat ini menerangkan hukum yang terjadi pada syariat nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum yang terjadi dalam syariat Nabi Muhamad saw. Ayat ini tidak bisa dibuat dalil untuk menolak hadiah pahala. Pangkal ayat ini ialah:‘Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan kitab Nabi Ibrahim yang memenuhi kewajibannya, bahwa tiada memikul seseorang akan dosa orang lain, dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selalin yang diusahakannya’.Jelas susunan ayat ini untuk Nabi Musa dan Nabi Ibrahim.
Seorang ahli tafsir Khazin dalam kitab tafsir-nya jilid VI halaman 223 menerangkan ayat ini sebagai berikut: ‘Adalah yang demikian itu untuk kaum Ibrahim dan Musa dan adapun bagi umat ini (umat Islam) maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan dari usaha orang lain’.

Dalam ayat ini Allah swt tidak mengatakan  bahwa si mayit tidak dapat mengambil manfa’at kecuali dari usahanya sendiri. Untuk menafsirkan Al-Qur’an orang tidak boleh berpikir seenaknya sendiri dan menyimpang dari pengertian-pengertian yang ada didalam Al-Qur’an secara keseluruhan. Agar kita tidak terperosok kedalam penafsiran yang salah tentang ayat An-Najm:39 itu, baiklah kami ketengahkan lagi pendapat beberapa ulama mengenai persoalan yang ada kaitannya dengan pengertian ayat tersebut.

A.  Dalam kitab Syarah Thahawiyah hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut, garis besarnya antara lain:
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun akan memperoleh banyak kawan dan sahabat, menikahi istri dan melahirkan anak, melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta serta suka padanya.. Manusia yang banyak sahabat dan kawan yang cinta padanya itu bila wafat akan memperoleh manfaat dari doa para sahabat dan kawan-kawannya tersebut (umpama pada waktu sholat jenazah, ziarah kuburnya dan sebagainya—pen). Dalam satu penjelasan Allah swt juga menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya oleh kaum mukiminin adalah sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).

2. Ayat Al-Qur’an tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat Al-Qur’an hanya menafi kan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah swt hanya menfirmankan bahwa 'orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia usahakan sendiri'. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh memberikannya kepada orang lain atau boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.(jadi pada kata kata lil-insan pada ayat itu adalah lil-istihqaq yakni menunjukkan arti ‘milik‘). Beginilah dua jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab Syarah Thahawiyah.
Jadi ayat An-Najm:39 menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, bukan hukum dalam syariat Nabi Muhammada saw. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi, yang artinya: 'Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Musa dan Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang diusahakannya'.

B.  Menurut ahli tafsir Ibnu Abbas ra dalam menafsirkan ayat An-Najm : 39 mengatakan : 

                                         اَلْحَقُنَابِهِم               هَذَا مَنْسُوْخُ الحُكْمِ فِي هَذِهِ الشََّرِيْعَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى
    
                                     ذُرِّيَّتَهُمْ فَاُدْخِل الأَبْنَاءُ الجَنَّةَ بِصَلاَحِ الآبَاءِ                                                              

Artinya: “Ini (ayat) telah dinaskh (dikesampingkan) hukumnya dalam syari’at kita dengan firman Allah Ta’ala; ‘Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka’, maka dimasukkanlah anak (yang beriman) kedalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya”.(Tafsir Khazin jilid 4/223).  
         
Firman Allah swt yang dimaksud oleh Ibnu Abbas sebagai pengenyampingan surat An-Najm: 39 adalah surat At-Thur ayat 21 yang artinya sebagai berikut: 
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.  (At-Thur ayat 21) .

Dengan demikian menurut Ibnu Abbas surat An-Najm; 39 itu sudah dikesampingkan hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil.

Kalau kita baca ayat At-Thur ini menunjukkan bahwa amalan-amalan datuk-datuk kita yang beriman, yang telah wafat bisa memberi syafa’at bagi kerabatnya yang beriman, yang masih hidup. Nah, bukan hanya amalan-amalan orang yang hidup saja yang bisa bermanfaat bagi si mayyit, tetapi orang yang beriman yang telah wafatpun bisa memberi syafa’at.Tidak lain ini semua menunjukkan Rahmat dan Karunia Ilahi yang sangat luas sekali. 

C. Dalam Nailul Authar jilid 4/102 disebutkan: Bahwa kata-kata 'Tidak ada bagi seseorang itu....' maksudny ialah 'tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.

D.  Al-Jalalain (yaitu Jalaluddin Al-Hamali dan Jalaluddin As-Sayuthi) dalam tafsirnya mengenai ayat An-Najm:39 antara lain mengatakan: “Yang dimaksud dengan kalimat ‘apa yang telah diusahakan’ (maa sa’aa) pada ayat tersebut ialah; hal-hal yang berupa kebajikan. (dengan demikian) Manusia tidak memperoleh suatu apa dari hal-hal yang bukan kebajikan”.

Sebagai uraian terhadap tafsir Al-Jalalain itu, Syeikh Sulaiman bin Umar Al-Ajili terkenal dengan nama Al-Jamal  menerangkan bahwa ayat tersebut merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, yaitu ayat An-Najm:38 yang menegaskan; ‘Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain’Al-Jamal mengatakan, karena dosa orang lain tidak menjadi beban orang yang tidak melakukan perbuatan salah.
Lebih jauh Al-Jamal menerangkan penafsiran ayat An-Najm:39 itu harus dikaitkan dengan ayat At-Thur:21, yaitu firman Allah: ‘Dan orang-orang  yang beriman, yang anak cucu keturunannya mengikuti mereka dalam keimanan, mereka ini (anak cucunya) akan Kami susulkan/kumpulkan kepada mereka (orang-orang yang beriman). sedikit pun Kami tidak mengurangi pahala amal perbuatan mereka’. Selain itu, penafsiran ayat An-Najm:39 harus dihubungkan pula dengan hadits-hadits nabi saw, antara lain hadits yang mengatakan: ‘Apabila seorang anak Adam wafat, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara; Ilmu bermanfaat (yang ditinggalkan), shadaqah jariyah dan anak sholeh yang berdoa untuknya (orang tuanya)’. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat tersebut dinaskh (mansukh, terkesampingkan) oleh ayat At-thur:21. 
Sebagai dalil/hujjah ia mengemukakan ayat At-Thur:21 itu bersifat pemberitaan dari Allah swt. Semua ayat yang bersifat pemberitaan tidak terkena naskh (tidak mansukh). Ibnu Abbas mengatakan juga bahwa ayat An-najm:39 itu pada hakikatnya semakna dengan hadits terakhir tersebut diatas. Sebab jika dipikirkan secara mendalam apa sebab anak yang sholeh berdoa untuk orang tuanya, sesungguhnya itu merupakan hasil amal kebajikan orang tua yang mengasuhnya dengan baik sejak kecil. Jadi berarti orangtua memetik hasil usahanya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kebajikan atau amal sholeh yang dilakukan oleh seseorang dapat mendatangkan manfaat atau pahala bagi orang lain. Hal ini dibenarkan oleh hadits-hadits shohih yang menerangkan bahwa para Nabi dan orang-orang sholeh atas izin Allah swt. dapat memberi pertolongan (syafaat) kepada orang lain. Barangsiapa yang memikirkan dan merenungkan nash-nash Al-Qur’an dan hadits mengenai persoalan itu, ia akan menemukan banyak pengertian tentang kenyataan itu. Karenanya, tidaklah semestinya kalau ayat An-Najm:39 itu ditafsirkan terlepas dari kaitan ayat-ayat lain dan hadits-hadits Nabi saw. (termasuk hadits-hadits pahala haji, sedekah, hutang dan lain-lain red.). Sesuatu yang kelihatannya bersifat umum ternyata mengandung banyak kekhususan.

Didalam tafsir Khazin dan hadits-hadits Ibnu Abbas ra, terdapat dalil-dalil madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan lain-lain yang mengatakan; bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil (sebelum akil-baligh) adalah sah, dan anak itu mendapat pahala, walau pun ibadah haji baginya belum merupakan ibadah wajib, tetapi hanya bersifat tathawwu’ (mustahab). Imam Abu Hanifah mengenai soal itu berpendapat, bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil tidak dapat dipandang sah sebagai penunaian rukun Islam, tetapi hanya sekedar latihan ibadah saja. Demikian pula mengenai shodaqah yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang telah wafat.
Mengenai soal itu para ulama bersepakat bulat bahwa pahala shodaqah itu diterima oleh orang yang telah wafat. Begitu juga soal doa, pelunasan hutang, ibadah haji dan puasa yang diperuntukkan/diniatkan (pahalanya) untuk orang yang telah wafat.
Akan tetapi mengenai soal puasa bagi orang yang telah wafat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian memandang sah puasa yang dilakukan secara tathawwu’ bagi orang lain yang kedahuluan wafat sebelum sempat memenuhi kewajiban puasa yang tertinggal. Sebagian yang lainnya memandang puasa seperti itu tidak sah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an pahalanya tidak dapat sampai kepada orang yang telah wafat (baca uraian sebelumnya mengenai pendapat imam syafi' i dan  fatwa para ulama syafi'iyah). Akan tetapi para ulama sahabat Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pembacaan Al-Qur’an pahalanya dapat sampai kepada orang yang telah wafat. Dalam hal itu Imam Ahmad bin Hanbal sependapat dengan para sahabat Imam Syafi’i. Begitu juga mengenai sholat sunnah yang diperuntukkan bagi orang yang telah wafat, Imam Syafi’i dan para ulama lainnya sependapat, bahwa pahalanya tidak dapat diterima oleh orang yang telah wafat. Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, semua ibadah sunnah yang di peruntukkan bagi orang yang telah wafat, pahalanya dapat sampai kepadanya. 

Mari kita rujuk pendapat Ibnu Taimiyah ulama yang diandalkan oleh golongan pengingkar dalam tafsir Jamal jilid 4 bahwa beliau berkata : “Barangsiapa meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan amalnya sendiri, maka sungguh dia telah melanggar ijma’ dan yang demikian itu adalah batil ”. 
Sebagai dalil/hujjah Ibnu Taimiyah menguraikan keterangan-keterangan secara rinci masalah ini (antara lain yang tertulis dalam kitab Al-Futuhatul Ilahiyyah hal.235 sampai hal. 237) mengatakan:
a. Kisah dua anak yatim dari orangtua yang sholeh, sebagaimana termaktub surat Al-Kahfi:82. Itu pun sepenuhnya merupakan manfaat yang diperoleh dari orang lain, bukan dari amal kebajikan dua anak yatim itu sendiri.

b. Rasulallah saw menangguhkan sholat mayyit bagi orang yang wafat dalam keadaan berhutang hingga hutangnya dilunasi oleh orang lain, seperti yang dilakukan oleh Qatadah ra dan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Itupun merupakan kenyataan bahwa manfaat dapat di peroleh dari amal kebajikan orang lain.

c.Zakat fitrah diwajibkan atas anak kecil ( yang belum baligh) yang menjadi tanggungan orangtua atau walinya. Hal ini merupakan ketentuan syara’ yang mengandung pengertian, bahwa manfaat pahala yang diperoleh anak itu datang dari amal kebajikan orang lain yang menginfakkan zakat tersebut, bukan dari amal dan usaha anak itu sendiri.--Wajib zakat yang dikenakan atas harta kekayaan anak yang masih kecil (harta waris peninggalan orangtuanya), atau yang dikenakan atas harta kekayaan orang yang sakit ingatan ini semua merupakan petunjuk bahwa mereka itu dapat memperoleh pahala dari zakat yang dikeluarkan dari hartanya. Sekalipun mereka itu tidak mempunyai kesanggupan berpikir dan beramal, tetapai dengan hartanya yang diatur dan dilakukan orang lain mereka memperoleh pahalanya

d.Nabi saw. akan memberi syafa’at terhadap orang-orang dipadang mahsyar dalam hal hisab dan terhadap calon-calon penghuni surga dalam hal masuk kedalamnya. Dan nabi saw. akan memberi syafa’at terhadap para pelaku dosa besar dalam hal keluar dari neraka. Ini semua berarti seseorang mengambil manfaat dengan usaha orang lain.

e.Anak-anak orang mukmin (yang wafat dalam keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka (yang mukmin) dan ini juga berarti mengambil manfaat semata-mata amal orang lain. (QS at-Thur : 21--pen.).

f.Orang yang duduk dengan ahli dzikir akan diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk dzikir melainkan untuk keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu telah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah, baca haditsnya pada bab Faedah majlis dzikir di buku ini--pen).

g. Shalat untuk mayyit (baca: sholat jenazah) dan berdo’a untuk si mayyit didalam shalat ini, adalah pemberian syafa'at untuk mayyit dengan shalatnya itu, ini juga pengambilan manfaat dengan amalan orang lain yang masih hidup.

h. Alllah swt berfirman pada Rasulallah saw : ‘Tidaklah Allah akan mengadzab/menyiksa  mereka sedangkan engkau masih ada diantara mereka’. ‘Kalaulah bukan karena laki-laki yang mukmin dan wanita-wanita yang mukmin..’  (Al Fath: 25). ‘ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain niscaya rusaklah bumi ini’. (Al Baqarah :25). Dalam ayat-ayat ini Allah swt mengangkat adzab/siksa (adzab umum—pen.) terhadap sebagian manusia dengan sebab sebagian yang lain dan ini juga termasuk pengambilan manfaat dengan amalan orang lain.

Jelaslah bahwa pahala bukan dari amal atau usaha mereka sendiri, melainkan berkat amal dan bantuan orang lain.Tidak diragukan lagi, barangsiapa yang mau berpikir mendalami persoalan seperti sampai sekecil-kecilnya, ia pasti akan menemukan banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa manfaat dapat diperoleh dari kebajikan, amal dan usaha orang lain. Setelah kesemuanya ini terang dan jelas, lantas bagaimanakah kita hendak menafsirkan ayat suci itu (An-Najm:39) dengan pengertian yang berlainan dari makna seluruh Al-qur’an dan sunnah Rasulallah saw, serta ijma’ umat nabi Muhamad saw? 
Demikianlah sebagian alasan-alasan yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah mengenai pengambilan manfaat dari amalan-amalan orang lain untuk si mayit. Sebenarnya masih banyak lagi alasan Ibnu Taimiyah mengenai ini tapi kami tidak cantumkan semua disini.

Juga kesimpulan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Ulama wa aqwaaluhum fii sya’nil amwat wa ahwaalihim hal.36-37 :   
“Nash-nash ini jelas menerangkan sampainya pahala amalan untuk mayyit apabila dikerjakan oleh orang yang hidup untuknya karena pahala itu adalah hak bagi yang mengamalkan, maka apabila dia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim tidaklah tercegah yang demikian itu sebagaimana tidak tercegah orang yang menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya dan membebaskan piutangnya untuk seseorang sesudah matinya. Rasulallah saw. menegaskan sampainya pahala puasa yang hanya terdiri dari niat dan tidak makan minum yang semua itu hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya pahala bacaan yang merupakan amalan lisan yang didengar oleh telinga dan disaksikan oleh mata adalah lebih utama”. 

Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan dhohir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits shohih yang akan ditentang oleh ayat tersebut, sehingga akan menjadi gugur dan tidak terpakai lagi. Wallahua'lam. 

3.  Dalil lainnya dari golongan pengingkar yaitu firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 286, yang artinya:

“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.

Mereka ini berkata : Bukankah ayat ini menunjukkan bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan pahalanya dan kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya.

Pengertian yang seperti itu adalah tidak benar sekali ! Karena dalam ayat itu juga tidak menafikan seseorang akan mendapatkan manfaat dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan: Seorang akan memperoleh harta dari usahanya sendiri. Ucapan ini bukan berarti dia tidak bisa memperoleh harta yang bukan dari usahanya sendiri, karena bisa saja dia memperoleh harta dari warisan orang tuanya, pemberian hadiah dari orang lain. Lain halnya kalau ayat diatas mengandung pembatasan (hasr) umpama bunyi- nya sebagai berikut :         
 اِلاَّ مَاكَسَبَتْ                                     لَيْسَ لَهَا    
"Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya bisa mendapat apa yang dia usahakan”.

Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk kembali kolom nr. 2 diatas . 

4.  Mereka juga berdalil pada firman Allah swt. dalam surat Yaasin ayat 54, yang artinya :

“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.

Dengan berdalil dengan ayat ini mereka meniadakan pahala dari orang lain, pikiran seperti ini juga tidak tepat sekali karena dalam ayat ini jelas Allah swt juga tidak menafi- kan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :

“Pada hari dimana seseorang tidak akan didzalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.

Dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa seseorang tidak akan disiksa sebab kejahatan orang lain, jadi bukan berarti seseorang tidak bisa memperoleh pahala sebab amal kebaikan orang lain (baca Syarah Thahawiyah hal. 456).

Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk keterangan jawaban kolom nr. 2 diatas .  

5.  Golongan pengingkar ini juga berkata bahwa membaca Al-Qur’an untuk mayit tidak dikenal dan tidak diamalkan oleh para salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi saw. lalu mengapa hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? Juga kata mereka:  Yang sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdo’a untuk mayit. Mengapa tidak itu saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca Al-Qur’an, tahlil dan dzikir terlebih dahulu…”.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab Bid'ah diwebsite ini bahwa Nabi saw. sendiri meridhoi amalan bacaan para sahabatnya tambahan bacaan dalam sholat yang diamalkan oleh sahabat beliau saw, yang mana amalan bacaan tersebut tidak pernah adanya petunjuk sebelumnya dari Nabi saw.serta tidak pernah sesudahnya di perintahkan oleh beliau saw.!
Tidak ada petunjuk Nabi saw. atau tidak diamalkan oleh para salaf bukanlah sebagai satu dalil atau hujjah untuk melarang dan mengharamkan hal tersebut, apalagi mereka  memutuskan bahwa pahala bacaan tersebut tidak akan sampai pada si mayyit!!
  
Pikiran dan pertanyaan semacam diatas ini juga bukan sebagai dalil atau hujjah untuk tidak sampainya pahala bacaan. Kalau mereka mengakui hadits shohih mengenai sampainya pahala haji, puasa dan do’a, maka apakah perbedaan yang demikian itu dengan sampainya pahala membaca Al-Qur’an? Janganlah kita membatasi sendiri Rahmat Ilahi, karena Rahmat-Nya sangat luas sekali !!

“Rasulallah saw. waktu itu ditanya mengenai haji untuk orang yang sudah wafat, puasa untuk orang yang sudah wafat dan sedekah untuk orang yang sudah wafat, beliau mengizinkan semuanya ini dan amalan-amalan tersebut akan sampai pada si mayit serta beliau saw. tidak melarang untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya pahala puasa yang semata-mata niat dan imsak dengan sampainya pahala bacaan dan dzikir (yang di-iringi dengan niat juga)?” ( Syarah  Aqidah Thahawiyah hal.457).

Orang yang membaca Al-Qur’an, tahlil dan dzikir, sudah tentu akan mendapat pahala, karena banyak sekali hadits yang meriwayatkan pahala bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Pahala itu adalah hak milik orang yang berdzikir, kemudian dia berdo’a kepada Allah swt agar pahala yang dimiliki itu disampaikan kepada orang yang sudah wafat baik itu orang tuanya, sanak kerabatnya atau orang lain. Dalam hal ini apanya yang dilarang…?

– Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid 4/101 bersabda:

      فَإِذَاجَازَ الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ بِمَا لَيْسَ لِلدَّاعِي فَلأنْ يَجُوْزَ بِمَاهُوَا لَهُ أوْلَى                      

Artinya: “Kalau boleh berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendo’a, maka tentu kebolehan berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh sipendo’a (yaitu pahala)adalah terlebih utama”.

Jadi kita dibolehkan do’a apa saja kepada Allah swt. walaupun isi do’a itu belum kita miliki sendiri umpamanya ‘Ya Allah berikanlah pada dia seorang keturunan yang sholeh, rizki yang makmur dan kesuksesan’ . Do’a seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang bahkan sangat dianjurkan. Jadi mengapa orang yang berdo’a untuk menghadiahkan sesuatu yang telah dimiliki yaitu pahala, malah justru dilarang ?

– Hadits dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda –yakni ketika menyalatkan jenazah– : ‘Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka’. (HR Muslim).

Diterima dari Waila bin Asqa’ katanya; Nabi saw. menyalatkan seorang lelaki Islam bersama kami, maka saya dengar beliau mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya si Anu anak si Anu adalah dalam tanggungan dan ikatan perlindungan-Mu, maka lindungilah ia dari bencana kubur dan siksa neraka, sungguh Engkau Penepat janji dan Penegak kebenaran. Ya Allah, ampunilah dia dan kasihanilah dia, karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang”. (HR.Ahmad dan Abu Daud)

Rasulallah saw. yang mengajarkan pada kita bacaan do’a dalam sholat jenazah diatas ini untuk si mayat yang mana isi do'a tersebut belum semuanya dimiliki oleh si pendo’a sendiri dan do’a ini toh akan bermanfaat pada si mayyit. Apa gunanya atau keistemewaannya Rasulallah saw. mengajarkan dan menganjurkan agar muslimin membaca do'a-do'a tersebut pada sholat jenazah kalau semuanya tidak ada manfa'at/syafa'at untuk mayyit ? Wallahu a'lam.


EVEN KELUARGA SAYA,






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar