Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin dan
Tahlil untuk orang yang telah wafat
Golongan pengingkar berkata: Kata-kata ingata’a
amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa
amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya
kepada mayyit !
Pikiran seperti itu adalah tidak tepat, karena
sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit
telah selesai dan putus amalnya, karena ia tidak di wajibkan lagi untuk
beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari
amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Begitu juga tidak ada
keterangan dalam hadits tersebut bahwa si mayit tidak dapat menerima syafa’at,
hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari
anaknya yang sholeh.
– Dalam syarah Thahawiyah halaman 456 disebutkan:
bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu
(terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a
amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah milik
orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan
sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu
adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.
Banyak hadits Nabi saw. yang menyebutkan bahwa
amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah do’a kaum
muslimin (jadi bukan hanya doa dari anaknya saja) untuk si mayit
pada sholat jenazah dan sebagainya (baca keterangan sebelumnya),
yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan hutang setelah
wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca haditsnya
dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama muslimin ,baik
yang masih hidup maupun yang sudah wafat, sebagaimana yang tercantum pada ayat
Ilahi Al-Hasyr.10 .
Mengapa dalam hadits diatas dicontohkan do’a
anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang
tuanya, dimana orang-orang lain telah melupakan ayah- nya. Sedangkan anak yang
tidak pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu
berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh.
Dari anak sholeh ini si mayit sudah pasti dan
selalu (kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud makna dari
hadits ini. Dengan demikian hadits ini tidak akan berlawanan/berbenturan
maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan sampainya pahala
amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji, sholat dan
lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai amal
jariahnya dan ilmu yang bermanfaat, selama dua hal ini masih
diamalkan oleh manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu)
menerima juga syafa’at darinya.
Kalau kita tetap memakai penafsiran golongan
pengingkar yang hanya membatasi do'a dari anak sholeh yang bisa sampai
kepada mayit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak? Apakah
orang yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafa'at/manfaat
do'a dari amalan orang yang masih hidup? Bagaimana do’a kaum muslimin
pada waktu sholat jenazah, apakah tidak akan sampai kepada si mayyit?
Sekali lagi penafsiran dan pembatasan hanya do'a anak sholeh yang
bermanfa’at bagi si mayit adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan
dengan hadits-hadits shohih mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat
buat si mayyit.
– Dalam Al-Majmu’ jilid 15/522 Imam
Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa ‘sedekah itu
dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak
mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak ’.
Hal yang serupa ini juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri
Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 3/218: ‘ Dan
sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli
warisnya maupun dari yang selainnya’
– Juga hadits-hadits Nabi saw. mengenai hadiah
pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik
ra:
عَنْ أنَسِ (ر) عَنْ عَلِىّ (كَرَّمَهُ اللهُ وَجْهَه) اَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ اَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِى.صَ.
وَالآخَرُ عَنْ نََفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي ِبهِ يَعْنِى النَّبِى صَ فَلآ اَدَعُهُ اَبَدًا.
Artinya: “Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban
dengan dua ekor kambing kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad
saw.dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu
kepadanya (Ali kw.) dan beliau menjawab : ‘Nabi saw.memerintahkan saya
untuk melakukan hal demikian maka saya selalu memperbuat dan tidak
meninggalkannya‘ ”. (HR Turmudzi dalam shohihnya jilid VI halaman
219).
Dalam hadits ini Rasulallah saw telah memerintahkan
sayidina Ali kw, untuk berkorban yang pahalanya buat dirinya dan buat
Rasulallah saw. Sayidina Ali kw tidak akan meninggalkan amalan ini selamanya.
– Aisyah ra mengatakan bahwasanya Rasulallah saw.
menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau
saw. berdo’a :
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
Artinya: “Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah
(pahala korban ini) dari Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad !
Kemudian Nabi menyembelihnya”. (HR. Muslim dalam shahih muslim
jilid XIII halaman 122).
Jelas dalam hadits ini Nabi saw berkorban yang
pahalanya untuk beliau saw, keluarganya dan seluruh umat muslim. Kalau hal ini
tidak bermanfaat dan dilarang dalam agama maka tidak mungkin diamalkan
oleh Rasulallah saw.
Dalam kitab Bariqatul Muhammadiyah jilid
II,halaman 99 cet.Mustafa Babil Halabi, pengarangnya memberi komentar tentang
hadits ini sebagai berikut: ‘Nabi Muhammad memberikan pahalanya kepada
umat beliau. Ini berarti pelajaran dari Nabi bahwa amalan orang lain bisa
memberi manfaat kepada orang lain.Mengikut ajaran dan petunjuk Nabi ini adalah
berpegang dengan tali yang teguh’.
– Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu
Dawud dan Turmudzi dari Jabir ra yang menerangkan bahwa ia pernah
shalat 'Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah selesai shalat
beliau diberikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya
mengucapkan: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah,
kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah pahala
korban dari Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw., begitu juga pahala
korban dari Nabi saw. untuk diri beliau saw., para keluarganya dan
bahkan untuk segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah
pahala amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum sempat
berqurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri didunia
ini.
– Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187
mengomentari hadits diatas ini dengan katanya: ‘Diperoleh dalil dari
hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap
keluarganya, serta menyatukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala.
Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur’.
– Juga sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang
dapat menggugurkan tanggungan mayyit walaupun pembayaran tersebut dilakukan
oleh orang yang lain yang bukan dari keluarga mayyit. Hal yang demikian
ini ditunjukkan oleh Abi Qatadah dimana beliau menanggung hutang seorang
mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu
Nabi saw. bersabda: ‘Sekarang bisalah dingin kulitnya’. (HR. Imam
Ahmad).
– Hadits ,yang diriwayatkan imam Turmudzi dalam
shahihnya jilid IV halaman 297, dari Abu Hurairah, beliau berkata: Bersabda
Rasulallah saw diri seseorang tergantung kepada hutangnya, sampai hutangnya
dibayarkan..Hadits ini jelas bahwa seorang yang telah wafat dan mempunyai
hutang maka ia belum bebas kalau hutangnya itu belum dibayar oleh ahli warisnya
atau karib kerabatnya. Dengan demikian jelas amalan orang yang
hidup bisa bermanfaat bagi si mayit.
Walaupun cukup banyak hadits yang membolehkan amalan
orang yang hidup (hadiah pahala dan lain-lain) yang berguna untuk si mayit
tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu, tapi ada golongan yang berbeda
pendapat mengenai hukumnya penghadiahan pahala ini. Ada golongan yang
membedakan antara ibadah badaniyah (jasmani) dan ibadah
maliyah (harta).
Sebagian dari mereka berkata; pahala ibadah maliyah
seperti sedekah dan haji sampai kepada mayit, sedangkan ibadah
badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur'an tidak sampai. Mereka
ini juga berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk
kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu
hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan
orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulallah saw.: ‘Seseorang
tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan
seseorang tidak boleh melakukan shaum (puasa) untuk menggantikan orang
lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum?’
(HR An-Nasa'i).
Sebenarnya yang dimaksud hadits terakhir ini
ialah: Misalnya si A malas untuk sholat Ashar maka si A minta pada Si B untuk
menggantikannya, inilah yang dilarang oleh agama. Karena orang yang masih
hidup harus menunaikan sholat sendiri-sendiri tidak boleh diwakilkan pada
orang lain.
Begitu juga bila orang yang masih hidup tidak mampu
puasa lagi karena
alasan-alasan tertentu yang dibolehkan agama umpama sudah tua sekali atau
mempunyai penyakit chronis dan lain sebagainya tidak boleh digantikan oleh orang lain,
tetapi yang bersangkutan setiap harinya harus mengeluarkan sedekah
(fidyah) untuk memberi makan orang miskin satu mud ( ± 800
gram).
Dengan demikian hadits terakhir diatas ini tidak tepat
sekali untuk digunakan sebagai dalil melarang amalan ibadah badaniyah
yang pahala amalannya dihadiahkan kepada orang yang telah wafat.
Karena cukup banyak hadits Rasulallah saw. ,baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang membolehkan penghadiahan pahala amalan untuk orang yang telah
wafat baik yang berupa ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah.(baca haditsnya
pada halaman berikut)
Sedangkan golongan ulama yang berpendapat bahwa
penghadiahan pahala ,baik itu ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah,
akan sampai kepada simayyit umpama pembacaan Al-Qur’an, puasa, haji,
pelunasan hutang setelah wafat, sedekah dan lain-lainnya, dengan mengqiyaskan hal
ini pada hadits-hadits Nabi saw mengenai sampai nya pahala ibadah puasa, haji,
sholat, pelunasan hutang setelah wafat, do’a kaum muslimin untuk muslimin yang
telah wafat dan sebagainya.
Golongan ini berkata: "Pahala adalah
hak orang yang beramal, jika ia menghadiahkan kepada sesama muslim maka
hal itu mustahab/ baik, sebagaimana tidak adanya larangan menghadiahkan harta
untuk orang lain diwaktu hidupnya atau membebaskan hutang setelah
wafatnya".
Begitupun juga tidak ada dalil jelas yang
mengatakan pembacaan Al-Qur’an tidak akan sampai pada si mayit. Jadi dengan
banyaknya hadits dari Nabi saw. mengenai sampainya pahala
amalan atau manfaat do’a untuk si mayit bisa dipakai sebagai dalil
sampainya juga pahala pembacaan Al-Qur’an pada si mayit. Sayang sekali kalau
hal ini kita remehkan dan tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia Ilahi tidak ada
batasnya.
2. Golongan pengingkar menyebutkan
beberapa dalil lagi untuk menolak hadiah pahala untuk si mayit diantaranya,
firman Allah dalam surat an-Najm ayat 39: ‘Tidaklah ada bagi seseorang itu
kecuali apa yang dia usahakan’. Mereka mengatakan ayat ini jelas
bahwa manusia tidak akan mendapat pahala dari amal orang lain bagaimana
jugapun. Orang yang berfatwa boleh menghadiahkan pahala dan pahala itu sampai
kepada mayat termasuk orang yang bodoh tdiak mengerti agama.
Ayat tersebut dijadikan oleh mereka sebagai dalil
untuk menolak adanya hadiah pahala untuk si mayit, ini juga tidak tepat
sekali. Ayat ini menerangkan hukum yang terjadi pada syariat nabi Musa dan Nabi
Ibrahim, bukan hukum yang terjadi dalam syariat Nabi Muhamad saw. Ayat ini
tidak bisa dibuat dalil untuk menolak hadiah pahala. Pangkal ayat ini ialah:‘Atau
belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan
kitab Nabi Ibrahim yang memenuhi kewajibannya, bahwa tiada memikul seseorang
akan dosa orang lain, dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selalin
yang diusahakannya’.Jelas susunan ayat ini untuk Nabi Musa dan Nabi
Ibrahim.
Seorang ahli tafsir Khazin dalam kitab tafsir-nya
jilid VI halaman 223 menerangkan ayat ini sebagai berikut: ‘Adalah yang
demikian itu untuk kaum Ibrahim dan Musa dan adapun bagi umat ini (umat Islam)
maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan dari usaha orang lain’.
Dalam ayat ini Allah swt tidak mengatakan
bahwa si mayit tidak dapat mengambil manfa’at kecuali dari usahanya
sendiri. Untuk menafsirkan Al-Qur’an orang tidak
boleh berpikir seenaknya sendiri dan menyimpang dari pengertian-pengertian yang
ada didalam Al-Qur’an secara keseluruhan. Agar kita tidak terperosok kedalam
penafsiran yang salah tentang ayat An-Najm:39 itu, baiklah kami
ketengahkan lagi pendapat beberapa ulama mengenai persoalan yang ada
kaitannya dengan pengertian ayat tersebut.
A. Dalam kitab Syarah
Thahawiyah hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut, garis
besarnya antara lain:
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang
santun akan memperoleh banyak kawan dan sahabat, menikahi istri dan melahirkan
anak, melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang
cinta serta suka padanya.. Manusia yang banyak sahabat dan kawan yang cinta
padanya itu bila wafat akan memperoleh manfaat dari doa para sahabat dan
kawan-kawannya tersebut (umpama pada waktu sholat jenazah, ziarah kuburnya dan
sebagainya—pen). Dalam satu penjelasan Allah swt juga menjadikan iman sebagai
sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin
yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha
mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan
demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya oleh kaum mukiminin adalah
sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat Al-Qur’an tidak menafikan adanya kemanfaatan
untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat Al-Qur’an hanya menafi kan kepemilikan
seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah swt
hanya menfirmankan bahwa 'orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia
usahakan sendiri'. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik
bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh memberikannya kepada
orang lain atau boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.(jadi pada kata kata lil-insan
pada ayat itu adalah lil-istihqaq yakni menunjukkan arti ‘milik‘).
Beginilah dua jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab Syarah Thahawiyah.
Jadi ayat An-Najm:39 menerangkan hukum yang terjadi
pada syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, bukan hukum dalam syariat Nabi
Muhammada saw. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi, yang
artinya: 'Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam
kitab-kitab Musa dan Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang
didapat oleh manusia selain yang diusahakannya'.
B. Menurut ahli tafsir Ibnu Abbas ra dalam menafsirkan ayat An-Najm :
39 mengatakan :
اَلْحَقُنَابِهِم
هَذَا مَنْسُوْخُ الحُكْمِ فِي هَذِهِ
الشََّرِيْعَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى
ذُرِّيَّتَهُمْ فَاُدْخِل الأَبْنَاءُ الجَنَّةَ بِصَلاَحِ الآبَاءِ
Artinya: “Ini (ayat) telah dinaskh
(dikesampingkan) hukumnya dalam syari’at kita dengan firman Allah Ta’ala; ‘Kami
hubungkan dengan mereka anak-anak mereka’, maka dimasukkanlah anak (yang
beriman) kedalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya”.(Tafsir
Khazin jilid 4/223).
Firman Allah swt yang dimaksud oleh Ibnu Abbas sebagai
pengenyampingan surat An-Najm: 39 adalah surat At-Thur ayat 21
yang artinya sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka
mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan
mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap
orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (At-Thur ayat 21) .
Dengan demikian menurut Ibnu Abbas surat An-Najm; 39 itu sudah dikesampingkan hukumnya, berarti sudah tidak
bisa dimajukan sebagai dalil.
Kalau kita baca ayat At-Thur ini menunjukkan bahwa
amalan-amalan datuk-datuk kita yang beriman, yang telah wafat bisa memberi
syafa’at bagi kerabatnya yang beriman, yang masih hidup. Nah, bukan hanya
amalan-amalan orang yang hidup saja yang bisa bermanfaat bagi si
mayyit, tetapi orang yang beriman yang telah wafatpun bisa memberi
syafa’at.Tidak lain ini semua menunjukkan Rahmat dan Karunia Ilahi yang sangat
luas sekali.
C. Dalam Nailul Authar jilid 4/102 disebutkan: Bahwa
kata-kata 'Tidak ada bagi seseorang itu....' maksudny ialah 'tidak
ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min
thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
D.
Al-Jalalain (yaitu Jalaluddin Al-Hamali dan Jalaluddin As-Sayuthi) dalam
tafsirnya mengenai ayat An-Najm:39 antara lain mengatakan: “Yang dimaksud
dengan kalimat ‘apa yang telah diusahakan’ (maa sa’aa) pada ayat
tersebut ialah; hal-hal yang berupa kebajikan. (dengan demikian) Manusia
tidak memperoleh suatu apa dari hal-hal yang bukan kebajikan”.
Sebagai uraian terhadap tafsir Al-Jalalain
itu, Syeikh Sulaiman bin Umar Al-Ajili terkenal
dengan nama Al-Jamal menerangkan bahwa ayat tersebut merupakan kelanjutan dari ayat
sebelumnya, yaitu ayat An-Najm:38 yang menegaskan; ‘Seseorang
yang berdosa tidak memikul dosa orang lain’ . Al-Jamal mengatakan, karena
dosa orang lain tidak menjadi beban orang yang tidak melakukan perbuatan salah.
Lebih jauh Al-Jamal menerangkan penafsiran ayat
An-Najm:39 itu harus dikaitkan dengan ayat At-Thur:21, yaitu firman Allah: ‘Dan
orang-orang yang beriman, yang anak cucu keturunannya mengikuti mereka
dalam keimanan, mereka ini (anak cucunya) akan Kami susulkan/kumpulkan
kepada mereka (orang-orang yang beriman). sedikit pun Kami tidak
mengurangi pahala amal perbuatan mereka’. Selain itu, penafsiran ayat
An-Najm:39 harus dihubungkan pula dengan hadits-hadits nabi saw, antara lain
hadits yang mengatakan: ‘Apabila seorang anak Adam wafat, putuslah semua
amalnya kecuali tiga perkara; Ilmu bermanfaat (yang ditinggalkan), shadaqah
jariyah dan anak sholeh yang berdoa untuknya (orang tuanya)’. Ibnu Abbas
mengatakan bahwa ayat tersebut dinaskh (mansukh, terkesampingkan) oleh ayat
At-thur:21.
Sebagai dalil/hujjah ia mengemukakan ayat At-Thur:21
itu bersifat pemberitaan dari Allah swt. Semua ayat yang bersifat pemberitaan
tidak terkena naskh (tidak mansukh). Ibnu Abbas mengatakan juga bahwa ayat
An-najm:39 itu pada hakikatnya semakna dengan hadits terakhir tersebut diatas.
Sebab jika dipikirkan secara mendalam apa sebab anak yang sholeh berdoa untuk
orang tuanya, sesungguhnya itu merupakan hasil amal kebajikan orang tua yang
mengasuhnya dengan baik sejak kecil. Jadi berarti orangtua memetik hasil
usahanya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kebajikan atau amal sholeh
yang dilakukan oleh seseorang dapat mendatangkan manfaat atau pahala bagi orang
lain. Hal ini dibenarkan oleh hadits-hadits shohih yang menerangkan bahwa para
Nabi dan orang-orang sholeh atas izin Allah swt. dapat memberi pertolongan
(syafaat) kepada orang lain. Barangsiapa yang memikirkan dan merenungkan
nash-nash Al-Qur’an dan hadits mengenai persoalan itu, ia akan menemukan banyak
pengertian tentang kenyataan itu. Karenanya, tidaklah semestinya kalau ayat
An-Najm:39 itu ditafsirkan terlepas dari kaitan ayat-ayat lain dan
hadits-hadits Nabi saw. (termasuk hadits-hadits pahala haji, sedekah, hutang
dan lain-lain red.). Sesuatu yang kelihatannya bersifat umum ternyata
mengandung banyak kekhususan.
Didalam tafsir Khazin dan hadits-hadits Ibnu
Abbas ra, terdapat dalil-dalil madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan lain-lain
yang mengatakan; bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil (sebelum
akil-baligh) adalah sah, dan anak itu mendapat pahala, walau pun ibadah haji
baginya belum merupakan ibadah wajib, tetapi hanya bersifat tathawwu’ (mustahab).
Imam Abu Hanifah mengenai soal itu berpendapat, bahwa ibadah haji yang
dilakukan oleh anak kecil tidak dapat dipandang sah sebagai penunaian rukun
Islam, tetapi hanya sekedar latihan ibadah saja. Demikian pula mengenai
shodaqah yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang telah wafat.
Mengenai soal itu para ulama bersepakat bulat bahwa pahala
shodaqah itu diterima oleh orang yang telah wafat. Begitu juga soal doa,
pelunasan hutang, ibadah haji dan puasa yang diperuntukkan/diniatkan
(pahalanya) untuk orang yang telah wafat.
Akan tetapi mengenai soal puasa bagi orang yang telah
wafat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian memandang sah puasa yang dilakukan
secara tathawwu’ bagi orang lain yang kedahuluan wafat sebelum sempat memenuhi
kewajiban puasa yang tertinggal. Sebagian yang lainnya memandang puasa seperti
itu tidak sah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an pahalanya tidak
dapat sampai kepada orang yang telah wafat (baca uraian sebelumnya mengenai
pendapat imam syafi' i dan fatwa para ulama syafi'iyah). Akan tetapi
para ulama sahabat Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pembacaan Al-Qur’an
pahalanya dapat sampai kepada orang yang telah wafat. Dalam hal itu Imam Ahmad
bin Hanbal sependapat dengan para sahabat Imam Syafi’i. Begitu juga
mengenai sholat sunnah yang diperuntukkan bagi orang yang telah wafat, Imam
Syafi’i dan para ulama lainnya sependapat, bahwa pahalanya tidak dapat diterima
oleh orang yang telah wafat. Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat,
semua ibadah sunnah yang di peruntukkan bagi orang yang telah wafat, pahalanya
dapat sampai kepadanya.
Mari kita rujuk pendapat Ibnu Taimiyah ulama yang diandalkan
oleh golongan pengingkar dalam tafsir Jamal jilid 4 bahwa beliau berkata : “Barangsiapa
meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan amalnya
sendiri, maka sungguh dia telah melanggar ijma’ dan yang demikian itu adalah
batil ”.
Sebagai dalil/hujjah Ibnu Taimiyah menguraikan keterangan-keterangan
secara rinci masalah ini (antara lain yang tertulis dalam kitab Al-Futuhatul
Ilahiyyah hal.235 sampai hal. 237) mengatakan:
a. Kisah dua anak yatim dari orangtua yang sholeh,
sebagaimana termaktub surat Al-Kahfi:82. Itu pun sepenuhnya merupakan manfaat
yang diperoleh dari orang lain, bukan dari amal kebajikan dua anak yatim itu
sendiri.
b.
Rasulallah saw menangguhkan sholat mayyit bagi orang yang wafat dalam keadaan
berhutang hingga hutangnya dilunasi oleh orang lain, seperti yang dilakukan
oleh Qatadah ra dan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Itupun merupakan kenyataan
bahwa manfaat dapat di peroleh dari amal kebajikan orang lain.
c.Zakat fitrah diwajibkan atas anak kecil ( yang belum
baligh) yang menjadi tanggungan orangtua atau walinya. Hal ini merupakan
ketentuan syara’ yang mengandung pengertian, bahwa manfaat pahala yang
diperoleh anak itu datang dari amal kebajikan orang lain yang menginfakkan
zakat tersebut, bukan dari amal dan usaha anak itu sendiri.--Wajib zakat yang
dikenakan atas harta kekayaan anak yang masih kecil (harta waris peninggalan
orangtuanya), atau yang dikenakan atas harta kekayaan orang yang sakit ingatan
ini semua merupakan petunjuk bahwa mereka itu dapat memperoleh pahala dari
zakat yang dikeluarkan dari hartanya. Sekalipun mereka itu tidak mempunyai
kesanggupan berpikir dan beramal, tetapai dengan hartanya yang diatur dan
dilakukan orang lain mereka memperoleh pahalanya
d.Nabi saw. akan memberi syafa’at
terhadap orang-orang dipadang mahsyar dalam hal hisab dan terhadap calon-calon
penghuni surga dalam hal masuk kedalamnya. Dan nabi saw. akan memberi syafa’at
terhadap para pelaku dosa besar dalam hal keluar dari neraka. Ini semua berarti
seseorang mengambil manfaat dengan usaha orang lain.
e.Anak-anak orang mukmin (yang wafat
dalam keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka (yang
mukmin) dan ini juga berarti mengambil manfaat semata-mata amal orang
lain. (QS at-Thur : 21--pen.).
f.Orang yang duduk dengan ahli dzikir
akan diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu sedangkan dia
bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk dzikir melainkan untuk
keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu telah mengambil manfaat
dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah, baca haditsnya
pada bab Faedah majlis dzikir di buku ini--pen).
g. Shalat untuk mayyit (baca:
sholat jenazah) dan berdo’a untuk si mayyit didalam shalat ini, adalah
pemberian syafa'at untuk mayyit dengan shalatnya itu, ini juga pengambilan
manfaat dengan amalan orang lain yang masih hidup.
h. Alllah swt berfirman pada
Rasulallah saw : ‘Tidaklah Allah akan mengadzab/menyiksa mereka
sedangkan engkau masih ada diantara mereka’. ‘Kalaulah bukan karena laki-laki
yang mukmin dan wanita-wanita yang mukmin..’ (Al Fath: 25). ‘ Seandainya
Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain
niscaya rusaklah bumi ini’. (Al Baqarah :25). Dalam ayat-ayat ini Allah swt
mengangkat adzab/siksa (adzab umum—pen.) terhadap sebagian manusia dengan sebab
sebagian yang lain dan ini juga termasuk pengambilan manfaat dengan amalan
orang lain.
Jelaslah bahwa pahala bukan dari amal atau usaha
mereka sendiri, melainkan berkat amal dan
bantuan orang lain.Tidak diragukan lagi, barangsiapa yang mau berpikir
mendalami persoalan seperti sampai sekecil-kecilnya, ia pasti akan menemukan
banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa manfaat dapat diperoleh dari kebajikan,
amal dan usaha orang lain. Setelah kesemuanya ini terang dan jelas, lantas
bagaimanakah kita hendak menafsirkan ayat suci itu (An-Najm:39) dengan
pengertian yang berlainan dari makna seluruh Al-qur’an dan sunnah Rasulallah
saw, serta ijma’ umat nabi Muhamad saw?
Demikianlah sebagian alasan-alasan yang diungkapkan
oleh Ibnu Taimiyah mengenai pengambilan manfaat dari amalan-amalan orang lain
untuk si mayit. Sebenarnya masih banyak lagi alasan Ibnu Taimiyah mengenai ini
tapi kami tidak cantumkan semua disini.
Juga kesimpulan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Ulama
wa aqwaaluhum fii sya’nil amwat wa ahwaalihim hal.36-37 :
“Nash-nash ini jelas menerangkan sampainya pahala
amalan untuk mayyit apabila dikerjakan oleh orang yang hidup untuknya karena
pahala itu adalah hak bagi yang mengamalkan, maka apabila dia menghadiahkan
kepada saudaranya yang muslim tidaklah tercegah yang demikian itu sebagaimana
tidak tercegah orang yang menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya dan
membebaskan piutangnya untuk seseorang sesudah matinya. Rasulallah saw.
menegaskan sampainya pahala puasa yang hanya terdiri dari niat dan tidak
makan minum yang semua itu hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya
pahala bacaan yang merupakan amalan lisan yang didengar oleh telinga dan
disaksikan oleh mata adalah lebih utama”.
Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak
terjebak kepada pengamalan dengan dhohir ayat semata-mata karena kalau itu
dilakukan, maka akan banyak sekali dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits shohih
yang akan ditentang oleh ayat tersebut, sehingga akan menjadi gugur dan tidak
terpakai lagi. Wallahua'lam.
3. Dalil lainnya dari
golongan pengingkar yaitu firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 286,
yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan
kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada
kejahatan)”.
Mereka ini berkata : Bukankah ayat ini menunjukkan
bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan pahalanya dan kejahatan orang lain
tidak akan dipikulkan dosanya.
Pengertian yang seperti itu adalah tidak benar sekali
! Karena dalam ayat itu juga tidak menafikan seseorang akan mendapatkan manfaat
dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan: Seorang akan memperoleh
harta dari usahanya sendiri. Ucapan ini bukan berarti dia tidak bisa memperoleh
harta yang bukan dari usahanya sendiri, karena bisa saja dia memperoleh harta
dari warisan orang tuanya, pemberian hadiah dari orang lain. Lain halnya kalau
ayat diatas mengandung pembatasan (hasr) umpama bunyi- nya sebagai berikut
:
اِلاَّ مَاكَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا
"Tidak ada baginya kecuali apa yang dia
usahakan atau seseorang hanya bisa mendapat apa yang dia usahakan”.
Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk kembali
kolom nr. 2 diatas .
4. Mereka juga berdalil pada
firman Allah swt. dalam surat Yaasin ayat 54, yang artinya :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa
yang mereka kerjakan”.
Dengan berdalil dengan ayat ini mereka meniadakan
pahala dari orang lain, pikiran seperti ini juga tidak tepat sekali karena
dalam ayat ini jelas Allah swt juga tidak menafi- kan hadiah pahala terhadap
orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didzalimi
sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang
mereka kerjakan”.
Dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah
dipahami bahwa seseorang tidak akan disiksa sebab kejahatan orang lain, jadi
bukan berarti seseorang tidak bisa memperoleh pahala sebab amal kebaikan orang
lain (baca Syarah Thahawiyah hal. 456).
Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk
keterangan jawaban kolom nr. 2 diatas .
5. Golongan pengingkar ini
juga berkata bahwa membaca Al-Qur’an untuk mayit tidak dikenal dan tidak
diamalkan oleh para salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi
saw. lalu mengapa hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? Juga kata
mereka: Yang sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdo’a untuk mayit.
Mengapa tidak itu saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca
Al-Qur’an, tahlil dan dzikir terlebih dahulu…”.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab Bid'ah
diwebsite ini bahwa Nabi saw. sendiri meridhoi amalan bacaan para
sahabatnya tambahan bacaan dalam sholat yang diamalkan oleh sahabat beliau saw, yang mana amalan
bacaan tersebut tidak pernah adanya
petunjuk sebelumnya dari Nabi saw.serta tidak pernah sesudahnya di
perintahkan oleh beliau saw.!
Tidak ada petunjuk Nabi saw. atau tidak diamalkan
oleh para salaf bukanlah sebagai satu dalil atau hujjah untuk melarang
dan mengharamkan hal tersebut, apalagi mereka memutuskan
bahwa pahala bacaan tersebut tidak akan sampai pada si mayyit!!
Pikiran dan pertanyaan semacam diatas ini juga bukan
sebagai dalil atau hujjah untuk tidak sampainya pahala bacaan.
Kalau mereka mengakui hadits shohih mengenai sampainya pahala haji,
puasa dan do’a, maka apakah perbedaan yang demikian itu dengan sampainya
pahala membaca Al-Qur’an? Janganlah kita membatasi sendiri Rahmat
Ilahi, karena Rahmat-Nya sangat luas sekali !!
“Rasulallah saw. waktu itu ditanya mengenai haji untuk
orang yang sudah wafat, puasa untuk orang yang sudah wafat dan sedekah untuk
orang yang sudah wafat, beliau mengizinkan semuanya ini dan amalan-amalan
tersebut akan sampai pada si mayit serta beliau saw. tidak melarang
untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya pahala puasa yang
semata-mata niat dan imsak dengan sampainya pahala
bacaan dan dzikir (yang di-iringi dengan niat juga)?” ( Syarah
Aqidah Thahawiyah hal.457).
Orang yang membaca Al-Qur’an, tahlil dan dzikir, sudah
tentu akan mendapat pahala, karena banyak sekali hadits yang meriwayatkan
pahala bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Pahala itu adalah hak milik orang yang
berdzikir, kemudian dia berdo’a kepada Allah swt agar pahala yang dimiliki
itu disampaikan kepada orang yang sudah wafat baik itu orang tuanya, sanak
kerabatnya atau orang lain. Dalam hal ini apanya yang dilarang…?
– Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid 4/101
bersabda:
فَإِذَاجَازَ
الدُّعَاءُ
لِلْمَيِّتِ
بِمَا
لَيْسَ
لِلدَّاعِي
فَلأنْ
يَجُوْزَ
بِمَاهُوَا
لَهُ
أوْلَى
Artinya: “Kalau boleh berdo’a untuk mayyit dengan
sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendo’a, maka tentu kebolehan berdo’a
untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh sipendo’a (yaitu pahala)adalah
terlebih utama”.
Jadi kita dibolehkan do’a apa saja kepada Allah swt.
walaupun isi do’a itu belum kita miliki sendiri umpamanya ‘Ya Allah berikanlah
pada dia seorang keturunan yang sholeh, rizki yang makmur dan kesuksesan’ .
Do’a seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang bahkan
sangat dianjurkan. Jadi mengapa orang yang berdo’a untuk menghadiahkan sesuatu
yang telah dimiliki yaitu pahala, malah justru dilarang ?
– Hadits dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah
mendengar Rasulallah saw. bersabda –yakni ketika menyalatkan jenazah– : ‘Ya
Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia,
muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan
air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih
bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari
tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang
lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa
neraka’. (HR Muslim).
Diterima dari Waila bin Asqa’ katanya; Nabi saw.
menyalatkan seorang lelaki Islam bersama kami, maka saya dengar beliau
mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya si Anu anak si Anu adalah dalam
tanggungan dan ikatan perlindungan-Mu, maka lindungilah ia dari bencana kubur
dan siksa neraka, sungguh Engkau Penepat janji dan Penegak kebenaran. Ya Allah,
ampunilah dia dan kasihanilah dia, karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun
lagi Penyayang”. (HR.Ahmad dan Abu Daud)
Rasulallah saw. yang mengajarkan pada kita bacaan do’a
dalam sholat jenazah diatas ini untuk si mayat yang mana isi do'a tersebut
belum semuanya dimiliki oleh si pendo’a sendiri dan do’a ini toh akan
bermanfaat pada si mayyit. Apa gunanya atau keistemewaannya Rasulallah
saw. mengajarkan dan menganjurkan agar muslimin membaca do'a-do'a tersebut pada
sholat jenazah kalau semuanya tidak ada manfa'at/syafa'at untuk mayyit ? Wallahu
a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar